Setelah berlalunya waktu-waktu krisis, aku ke arah bangku depan bangsal sambil menunggu mungkin ada pasien baru akan masuk ke ward tersebut. Jika ada pasien baru, tugas kami selaku Dokter Muda adalah anamnesis dan periksa vital sign pasien baru tersebut.
Eh, baru aku mahu beristirehat, terlihat seorang ibu berusia dalam lingkungan 60-an duduk disana sambil membelek-belek kertas dokumen rawatan, sesekali menggaru kepalanya. Aku bingkas menuju ke arahnya, mungkin beliau menginginkan penjelasan tentang sesuatu. Melihat aku berjalan ke arahnya, lantas dia bertanya,
"Anak dinas di bangsal ini ya?"
"Iya buk. Ada yang bisa saya bantu?"
"Hmm, ini nih. Ibu bingung tentang masalah obat yang diberi apoteker. Dokter ruangan tadi nulis dalam resep 4 tablet omeprazol, tapi yang diberi apoteker cuma 2 tablet. Kalau begini kapan kakak ibu sehat...?" keluh beliau sambil menunjukkan kertas dokumen pengobatan keluanrganya kepada aku.
"Oh, masalah itu. Ibu udah nanya ke apotekernya kenapa cuma diberi 2?"
"Katanya yang diberi hanya untuk malam ini, untuk yang besok harus diresepin lagi. Ibu capek juga naik-turun ke bawah ngambil obat. Kakak ibu pula sakit, gimana mau sehat kalau begini?"
"Kalau menurut ibu apotekernya yang salah ni." tambahnya lagi.
Ah, aku sudah mati akal. Manalah aku tahu masalah pengurusan begini? Kebetulan aku terlihat seorang dokter senior residen baru keluar dari ruangan pustaka. Langsung beliau berjalan ke arah kami. Mungkin beliau tahu aku ditanya tentang sesuatu yang bukan dibidangku.
"Ada apa bu?" tanya beliau ringkas. Kemudian, keluarga pasien tersebut menceritakan masalahnya kepada dokter residen tersebut sama persis seperti yang diceritakan kepadaku.
"Oh, begitu. Ya udah, besok kami akan resepkan lagi ya?"
"Tapi besok kan tanggal merah. Apotek tutup. Di mana ngambil obatnya? Kalo gitu ga makan obat kakak ibu besok..." dari nadanya, jelas menunjukkan keresahan.
"Apotek di Instalasi Gawat Darurat dibuka setiap hari, walaupun hari libur buk."
"Oh..." terpampang sebuah kelegaan pada raut wajah keluarga pasien tersebut.
"Ibu memakai ASKES kan?" tanya dokter untuk mendapatkan kepastian.
"Memang begitu sistemnya. Sebenarnya kami meresepkan 4 tablet itu, 1 tablet untuk malam ini, selebihnya lagi buat besok supaya pengobatannya bisa tebih teratur. Tapi kadang ada pasien yang bersikeras mau pulang-paksa, administrasi obat jadinya banyak yang rancu, makanya diberi apoteker cuma untuk malam ini." jelas beliau.
"Berarti besok harus nambil obat lagi ke bawah ya? Susah ya..?"
"Itu makanya tidak boleh sakit, buk."
"Maksud dokter?" Ibu tersebut kelihatan kaget. Sebenarnya aku juga kaget, tapi sengaja aku sembunyikan raut 'troll' tersebut.
"Anggaran jaminan asuransi kesehatan seorang pasien sebenarnya cuma sekitar Rp. 20 000 per bulan. Namun adakalanya harga 1 macam obatnya saja sudah melebihi Rp. 30 000. Jadi rumah sakit harus menanggung beban biaya berlebih tadi. Itupun selalunya suntikan dana tidak tepat waktu, dan jumlah yang dibayar ke rumah sakit kurang dari 1/3 dari total biaya. Tapi yalah nama juga rumah sakit pendidikan, harus bagaimana lagi..." jelasnya.
Ibu tersebut terdiam. Entah beliau mendengarkan atau tidak. Semoga beliau lebih mengerti tentang 1001 macam kesulitan yang dihadapi oleh sebuah rumah sakit pendidikan untuk beroperasi.
moral : edukasi pasien itu penting, walaupun nampak remeh.